h1

Jangan Pernah

October 26, 2015

Jangan pernah, kau merasa menakhlukan gunung
sementara kesombongan dirimu sendiri belum kau punggungi
jangan pernah, kau merasa pengarung sungai,
sementara di dalam darahmu mengalir keserakahan yang tak kau kuasai

jangan pernah, kau merasa menjadi penjelajah
sementara, lingkup dirimu selalu luput kau singgahi…
merasainya dan menjadikannya wilayah terluas di muka bumi

jangan pernah, dirimu merasa bahwa semesta telah tunduk kepadamu
sementara : kau belum bernah menyirami bunga-bunga yang setiap hari hadir di pagimu
sementara : gersang di sekelilingmu dengan tenang engkau diamkan

jangan penah, engkau merasa mencintai alam
sementara : sampah berserakan di sekitarmu kau biarkan bertebaran
sementara : kau tak menyadari bahwa alam, air, angin dan batu adalah bagian dari dirimu

janganlah engkau merasa gagah, dengan segunung pendakian, selaut pengarungan, sehutan pencarian terjauah dan terdalam
semantara duniamu sendiri kau sempitkan sendiri

Kembali…kembalilah kepada semesta
maka di sana Astacala akan menemukanmu…

Dirgahayu!! Astacala

h1

Perempuan Bertangan Dingin itu Telah Pergi

October 25, 2012

Akhirnya waktu jualah yang menjadi penentu akhir, waktu yang digariskan bersama takdir, waktu yang menjadi penanda untuk kapan sebuah hidup akan berakhir.

Senja tiba-tiba menjadi begitu murung, lebih redup dan menggambarkan suasanya yang layu. Di ujuang telepon, Paman mengabarkan bahwa ia telah melepas kepergian orang yang begitu kami cintai. Seorang wanita tua perkasa, yang menjadi begitu familiar di mata dan hati kami, cucu-cucunya. Aku, kedua kakakku, mungkin merasa cukup beruntung, telah bertahun-tahun bersamanya, bahkan melebihi kebersamaan kami dengan Emak dan Bak–baca Bapak. Nasiblah barangkali yang menjadikan kami bagian tak terpisah darinya, sesosok Nenek yang kuat sekaligus Ibu, setelah kedua orang tua kami terpaksa mencari nafkah di perut terdalam Bukit Barisan Pal 8 Curup puluhan tahun yang lalu.

Darinya kami belajar banyak hal, mulai dari menanak nasi, memasak lauk untuk makan sehari-hari, membersihkan rumah, rajin bersekolah, patuh mengaji dan segala etika yang muskil jika diajarkan tanpa keuletan yang penuh. Kami terlalu sering menemuinya memarahi kami yang telat mandi, atau lupa menutup pintu kandang ayam, atau di lain saat, kami juga sering melihatnya terkantuk-kantuk saat menunggui kami sedang belajar di bawah sinar lampu teplok yang redup dan temaram setiap malam.

Semuanya kemudian berbuah, semuanya begitu terasa berbeda untuk kami rasakan. Puluhan tahun kemudian, kami mendapati kebenaran untuk apa yang hendak ia sampaikan pada kami, dengan bahasa yang sangat sederhana. Ia yang setengah buta huruf, begitu gigih menyemangati kami untuk menjalani pendidikan. Sekali lagi, waktulah yang begitu pandai membuat kami kemudian menjadi mengerti.

Seingat kami, badannya persis seperti itu dari dahulu, kurus tapi selalu kuat. Rambutnya sudah memutih, giginya merah hitam akibat mengkonsumsi daun sirih secara rutin. Kulitnya yang hitam dan keriput sering kami rasakan saat ia minta dipijiti di malam hari menjelang tidur. Yang berbeda, kalau dulu ia selalu bebas kemana pun ia mau pergi, ke sawah dari subuh hingga gelap malam, ke hutan mencari kayu atau sekedar mengumpulkan daun Purun untuk anyaman tikar, tapi waktu-waktu terakhir ini ia tidak bisa sebebas itu. Emak tidak membolehkannya kerja terlalu berat, ke sawah pun ia hanya sekali dua saja. Bagi yang melihatnya dari jauh, mungkin itu adalah hal yang wajar dan patut. Namun sebetulnya, aku pikir tentu ia akan cukup tertekan dengan kondisinya seperti akhir-akhir ini. Ia seorang pekerja, yang tidak bisa diam dan duduk dirumah, tak mungkin ia akan tenang kalau tak bisa pergi dan bekerja di sawah atau di kebun.

Betapa ia tak pernah betah untuk tinggaal di rumah paman di Bekasi, paling lama sebulan saja, ia akan merengek untuk segera pulang. “Di sini tidak ada tanah, tidak bisa menanam ini dan itu… tidak bisa membersihkan ini dan itu” begitulah kira-kira ia tak betah.

Sebagai seorang janda pensiunan tentara, aku pikir ia telah berhasil bahkan sangat berhasil dalam mendidik anak-anaknya yang enam orang, setahuku, semuanya sempat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA.

Di Kampung kami yang kecil, Nek (begitulah kami akrab memanggilnya) adalah sosok wanita yang legendaris. Kata orang ia bertangan dingin, apa yang ia sentuh selalu memberikan hasil berbeda. Jika menanam apa pun, ia akan selalu tumbuh, jika memasak apa pun ia akan terasa enak. Kalau orang mau membeli kopi, pasti mereka akan menyebut kopi buatan Ndung Tati–begitu orang kebanyakan menyebutnya. Emak adalah anak tertua, di sana penyebutan nama Ibu, diikuti dengan nama anak tertuanya. Kalau menanam kelapa atau pisang, buahnya selalu melimpah. Kalau menanam kacang panjang, buahnya juga selalu melimpah. Untuk kacang ini, Nek pernah berbagi rahasia denganku, “menanam kacang panjang, itu harus berdasarkan hitungan bulan cungakan” katanya waktu itu, sampai sekarang pun, rasanya aku belum mengerti 😀

Pernah sekali waktu, Nek memproduksi pendap (mirip dengan ikan pais). Aku kaget ketika ia bercerita, kalau pendapnya sudah sampai ke Palembang. Ia begitu bangga.

Begitulah Nenek kami, Nenek yang kuat bukan hanya sekedar untuk ukuran perempuan, tapi mungkin juga lebih kuat dari kaum laki-laki. Seorang Nenek, Ibu bagi kami anak dan cucu-cucunya. Kini, Selasa 23 Oktober 2012 petang kemarin, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir kali. Setelah sempat seminggu berjuang di rumah sakit, kini ia telah kembali pada Sang Khalik.

Kabar duka ini, bagiku tidak sekedar duka biasa, kehilangannya bukan kehilangan biasa. Semoga engkau mendapat tempat yang luar biasa di sisi Allah.

Keluarga besarku kini sedang berkumpul bersama di rumah tua kami di kampung, tapi aku, mungkin sendiri disini, terlalu jauh…. tapi tampak dekat untuk lebih mengerti.

“Allah yang Maha Baik, terimalah amal ibadahnya selama ini. Berilah imbalan pahala untuk jerih payahnya selama ini. Ampuni…. ampuni dia ya Rabbi…”

h1

Minggu Pagi di Kampus Putih Biru

April 3, 2012

Yang fana adalah waktu, kita abadi*. Kenangan itu seperti ketika berada di tengah lautan tak berbatas, tak ada penanda, tak pula punya garis pembeda. Ia seperti pengharapan luas tak bertepi, tinggi menjulang tak berpuncak, dalam tanpa dasar dan melayang seperti impian.

Tak terasa akhirnya tanah bersejarah ini terinjak kembali, apalagi sekarang sudah dengan teman sehidup. Lama rasanya, untuk kemudian menemukan sebuah penggal sejarah bertahun-tahun yang lewat. Ada yang berubah, banyak juga yang masih bertahan. Semuanya, dihadapanku menampilkan suasana yang hangat, mesra, namun kadang asing, gersang dan aneh.

Di bagian depan, jalanan yang dulu damai dan diam kini sudah sangat semarak. Di minggu pagi ratusan orang berjualan dalam suasana dagang di pasar. Hiruk pikuknya melantunkan cerita tersendiri, ramai dan tak peduli.

Ada yang berubah, ada yang tetap. Perubahan itu seperti sebuah keniscayaan, ia berlaku untuk mempertahankan diri atau untuk mengembangkan diri. Berubah seperti waktu yang berjalan, detik yang telah lewat, termatikan oleh detik berikutnya. Mati, hidup silih berganti. Dan yang tetap, seperti kesahajaan yang gigih melawan nasib. Mencoba bertahan untuk kemudian dilihat sebagai sesuatu yang naif.

Jalan Telekomunikasi yang dulu gosong dan berdebu kini sudah beraspal penuh, lebih lebar namun masih semrawut. Pepohonan dipinggirnya seperti tak mau hidup, terbonsai, kurus dan mengerikan menuju mati. Debu-debu yang dahulu, kini tergantikan oleh asap knalpot dari kendaraan warga kampus yang sudah lebih berada.

Di PGA, aku menyempatkan untuk sarapan pagi di warung Mang Adun. Sama. Ada yang berubah ada yang tetap. Penampilan mereka tetap sederhana, khas orang Sunda pinggiran yang penuh keramahan. Menu yang tersajipun tetap menghadirkan kenikmatan yang dulu. Tapi kini warung-nya sudah lebih rapi.

Ke arah Subabirus, jalanan sempit dan becek tetap bertahan dengan gayanya sendiri. Orang yang lalu lalang selalu tak nikmat berada di sini. Ketika kendaraan lewat, mereka harus menepi. Sebuah potret keabadian yang dari dulu persis seperti itu.

Yang sangat mencolok mata adalah, munculnya bangunan-banguan mewah tinggi menjulang-julang. Gaya minimalis semakin membuatnya terkesan mewah dan mahal. Danau yang dulu penuh sampah dan airnya berbau, kini seperti tersulap menjadi pemukiman mewah, bertingkat dan tentu saja warna warni. Villa Yama yang dulu sangat mewah, kini seperti tergeser, menciut dan seperti enggan bersaing dengan penantang-penantang barunya.

Ku gandeng tangan anakku melewati jalan-jalan penuh kisah ini. Sementara di belakang, istriku membidikan kamera untuk mengabadikan. Tak jauh kemudian mataku tertumbuk pada sebuah warung Tegal, Warteg Idola. Posisi dan bentuknya persis sama seperti dulu terakhir kami sering menyambanginya. Warung ini adalah warung segala kelas, semua orang tertarik dengan menu khas Tegal dan harganya yang murah, tentu saja.

Dari Sukabirus, kami melewati gang sempit untuk kembali ke kampus. Gang yang tak berubah, dan tak mungkin berubah. Di kiri-kanannya sudah terlalu sumpek dan tak mungkin lebih leluasa.

Mataku tak bisa mengelak pada tumpukan sampah setelah ‘gerbang’ kecil kampus. Tumpukan sampah persis seperti tahun-tahun yang dulu. Entah mengapa aku sejenak tertegun di depan tumpukan sampah ini. Baunya yang tak sedap seperti membangkitkan kembali kesadaranku. Sebuah kisah ironi tiba-tiba menjelma dengan sendiri.

Kampus yang begitu mewah, berkelas dan dihuni orang-orang cerdas ternyata tak mampu mengelola sampah secara lebih baik. Rongsokan-rongsokan itu berserak, diterbangkan angin dan mengembuskan bau busuk yang sangat tidak sedap. Kata orang bijak yang pernah kudengar, untuk melihat sikap sejati seseorang, cukup dengan melihat bagaimana ia memperlakukan sampah. Semaju-majunya orang, namun ketika ia tidak peduli bahkan sembarangan memperlakukan sampah, tetap saja ia bukan orang berbudaya.

Memasuki bagian belakang kampus, mataku tertuju pada gedung mungil dan menua. Gedung I, gedung yang bagi sebagian angkatan diyakini sebagai sebuah tonggak. Ia bukan hanya tempat nongkrong, buka cuma ruang tempat diskusi. Bagi sebagian orang, Gedung I seperti sebuah kisah, yang maknanya membekas dalam-dalam. Sama sekali tak berubah, atapnya yang dari genteng tua dan dindingnya yang kumal dan penuh tempelan. Ia yang diam dan tetap sederhana seperti ingin berkata kepadaku “engkau yang sudah pergi dengan jauh, dari tempat ini juga dulu kau pernah bercengkrama…”. Senyumku tak lepas memandang kangen gedung ini.

Ya, inilah gambaran kampusku dulu. Kampus putih biru yang penuh cerita. Gedung-gedung kuliahnya, asramanya, jalan dan pohon-pohonnya. Di datangku kali ini, ia masih saja diam dan menyimpan cerita.


*Sapardi Djoko Damono (1978)

h1

Salam Satu Jari, Pagi Ini

February 9, 2012

Heran melihat polisi pagi tadi. Sudah jelas kalau Kopaja itu yang menyerobot, tapi tidak ditindak dengan semestinya, tidak ditegur apalagi diberi sanksi. Bagaimana orang akan berlaku disiplin, ketika penegak disiplin itu sendiri sudah tak peduli.

Pagi ini bukan pagi yang mengherankan, pagi ini adalah pagi yang biasa, dengan segala rutinitasnya.

Kembali ke cerita awal. Kenapa bisa seorang penegak disiplin membiarkan ketidakdisiplinan terjadi di depan matanya. Masalah kedisiplinan sudah menjadi penyakit yang merajalela di masyarakat, pengendara motor yang merajalela memangsa jalur pejalan kaki, angkutan umum yang berhenti di tempat yang bukan tempatnya, pejabat yang merokok di sembarang tempat, polisi yang tak peduli dengan ulah para pengguna jalan yang seenaknya mengambil hak orang lain dan banyak lagi, termasuk diri kita yang tak merasa bersalah ketika membuang sampah tidak pada tempatnya. Itulah wujud ketidakdisiplinan kita, sebuah paradok di negeri penuh toleran, sebuah ironi di negeri hukum tanpa ketegasan.

Ketidakdisiplinan kemudian menurun kepada ketidaktegasan. Negera kita adalah negara hukum, yang melandaskan semua hal yang berlaku pada aturan hukum. Namun hukum itu tak pernah tegak, sebab tak pernah diikuti dengan ketegasan. Ketegasan atas pandangan sama di mata hukum, ketegasan atas hak yang sama mendapat perlindungan hukum. Ketidaktegasan menular dari yang paling atas hingga masyarakat paling bawah. Hukum tanpa ketegasan seperti pedang tak tajam, jika pun ada, ketegasan hanya dilakukan pada si lemah, yang tak mungkin membantah, yang tak mungkin memberikan argumen pembelaan. Jika pun ada, ketegasan hanya diberikan tidak pada tempatnya, ketegasan hanya untuk menutupi kebodohan. Kalau begitu, apa bedanya penegak hukum dengan para preman. Preman adalah orang yang berani, tapi tidak dilandasi kebenaran. Begitulah negara hukum kita, seperti rimba belantara yang berisi calo dan para preman saja.

Keberanian yang diharapkan masyarakat adalah keberanian yang berlandas pada kebenaran, bukan keberanian untuk menutupi kelemahan, bukan keberanian pura-pura untuk pencitraan, bukan pula keberanian yang lahir karena balas budi.

Sudah asing bagi kita menyaksikan keberanian dan ketegasan yang menenangkan.

Pejabat menjadi tak tegas demi citra taat pada aturan hukum, untuk menandakan bahwa ia berdiri di atas semua orang, bukan berpihak pada sebagian orang. Wakil rakyat berani bicara hanya setelah kebusukan mereka terbongkar, tapi sembunyi, diam dan menikmati ketika kebobrokan itu menguntungkan dirinya. Hakim menjadi pengadil yang sangar hanya untuk kaum kecil, tapi lembek pada mereka yang bermuka licin, kepada mereka yang sanggup membayar pengacara mahal. Para ahli hukum itu, rapi berdiri di belakang yang membayar mereka, tak peduli benar atau salah, yang mereka pikirkan hanya menang atau kalah saja.

Negeri ini, seperti kapal yang segera karam, tapi di dalamnya, sang kapten dan para punggawanya masih berdiri tak peduli.

Salam satu jari kelingking untuk mereka yang memiliki kewajiban tapi meniadakan tugas itu.[JP] — opini ini juga dimuat di http://qenae.com

h1

Pendas Astacala, Antara Konsep Pendidikan Salah Kaprah dan Doktrin Militeristik Yang Setengah-setengah

January 19, 2012

Pendidikan dasar Astacala yang memasuki periode ke-20 telah berlalu. Dan masih hangat dalam ingatan kita, seperti apa hiruk pikuk di dalam dan di balik semua itu. Seperti juga masih terlihat di forum-forum yang melibatkan anggota Astacala. Namun sebuah tanda tanya besar, masih terpampang gamang dalam benak masing-masing kita, sukseskah, biasa-biasa saja atau malah sebaliknya?

Barangkali masih terlalu dini untuk mengorek jawaban dari pertanyaan seperti itu, dan mungkin dianggap kurang sopan, dengan memperhatikan kondisi panitia terkini. Maka supaya tidak dianggap cerewet dan melampaui batas etika, saya ingin berbagi pikiran saja dalam tulisan ini, tulisan yang saya sarikan dari pengalaman dan sumber yang minim, semoga tidak menjadi pembenaran subjektif.

Konsep awal dari pendidikan dasar ada pada kata pendidikan itu, yang secara harfiah kita artikan semacam transfer pengetahuan juga pengalaman kepada peserta didik yang disebut siswa. Secara tidak langsung, ada beberapa pakem yang disepakati dalam pendidikan dasar astacala yakni bahwa ‘alam adalah guru yang terbaik’, ‘alamlah yang mendidik, kami hanya mengantarkan’, ‘tidak ada kontak fisik’, ‘safety prosedur’.

Pakem itu kemudian diterjemahkan dalam berbagai bentuk materi acara, ada Long March, Gunung Hutan dan Survival (3 materi Pendas yang setahu saya selalu ada, kecuali mungkin API).

Yang paling menarik dari beberapa pemahaman yang dimiliki tentang Pendas itu menurut saya adalah tidak ada kontak fisik. Ini merupakan keunggulan lain dari Astacala jika dibandingkan dengan kebanyakan Mapala di kampus lain. Pemahaman tentang itu sedemikian kuat ditanamkan hingga sampai Pendas terakhir pun semua panitia tahu tentang itu. Adalah tabu, jika kita melakukan kontak fisik dalam pendidikan dasar.

Konsep ini bukan tanpa alasan, salah satu alasan yang kuat adalah bahwa tanpa kontak fisik pun, sebetulnya siswa-nya sudah sangat lemah. Boleh jadi memang, oleh karena alasan itu maka ‘belum’ ada tragedi krusial pada Pendas akibat bentrok fisik. Tapi benarkah? Saya pikir, bukan karena itu alasan yang mungkin lebih tepat.

Kontak fisik lebih bersifat pemaksaan, arogansi kekuasaan sebagai panitia. Pendidikan yang dipaksakan akan menjadi dogma yang menyesatkan.

Konsep Pendidikan yang Salah Kaprah

Benar bahwa pakem yang dianut oleh Pendas Astacala itu baik. Namun ada sebuah inti dari pendidikan yang kadang terlupakan yakni konsep pembebasan. Konsep seperti ini memahami bahwa, ilmu yang diberikan akan lebih terserap jika diberikan secara terbuka, memberikan kemungkinan kepada peserta didik untuk berkreasi dan tidak hanya menerima saja.

Dan sayangnya, konsep pendidikan yang membebaskan ini tidak dimiliki sepenuhnya oleh Pendas. Siswa dikondisikan untuk menjadi lemah, siswa dipaksa berada pada posisi yang kalah. Sehingga kebebasan berpikir yang menjadi syarat untuk kreatifitas menjadi mandeg. Indikasi ini mungkin secara tak sadar kita terjemahkan dalam pola pendas astacala, long march dengan beban maksimal dan kadang diperparah dengan penghukuman yang berlebihan. Kondisi serupa yang paling gampang terlihat adalah pada saat survival.

Apakah dalam konsep pendidikan yang membebaskan itu memang tidak mengenal hukuman dan disiplin? Tentu tidak, namun yang harus menjadi titik berat adalah apakah hukuman dan disiplin itu akan berdampak positif atau tidak? Hukuman yang diberikan harus terukur dan disiplin yang dimaksud harus masuk akal.
Hukuman yang terukur adalah hukuman yang juga mempertimbangkan dampak dari hukuman itu, ia juga mempertimbangkan kondisi aktual peserta didik. Toh nyatanya, dalam konsep pendidikan modern, banyak sekali contoh hukuman yang tidak berupa fisik. Disiplin yang masuk akal adalah disiplin yang diterapkan secara adil dan tidak emosional. Dan tentunya, untuk menumbuhkan disiplin itu bukan dari besar kecilnya ganjaran di balik itu, sebab kunci dari disiplin adalah konsistensi.

Mari kita bandingkan dengan Pendas. Sudahkah kebebasan itu dirasakan siswa, sudahkan mereka nyaman sehingga dapat menyerap ilmu secara lebih maksimal?

Ada semacam ‘ketakutan’ yang selama ini mengitari panitia, siswa sama sekali tidak boleh mengetahui ROP contohnya, siswa sama sekali tidak tahu berapa hari masa pendidikan dasar ini? Mengapa ini dilakukan? Dan apakah itu perlu? Jika berpatokan pada pendidikan yang memebaskan itu, tentu tak ada alasan menutupi ROP.

Berpatokan pada kasus survival, seperti tergambar dalam pernyataan Bedjat di forum diskusi, kalau dihubungkan dengan konsep pendidikan yang membebaskan itu, maka menurut saya, sangat wajar kalau siswa tidak menyerap secara penuh materi yang diberikan. Dalam kondisi fisik yang sedemikian lemah, ditambah kondisi alam yang tidak biasa, dan tuntutan panitia, apakah ini kondisi ideal bagi mereka untuk menyerap pengetahuan tentang survival?

Makanya jangan heran, sangat sedikit siswa yang berhasil membuat api dalam kondisi seperti tergambar pada masa surivival. Tidak bisa membuat api, sebab mental mereka sudah terlalu lemah. Jika pun ada, kadang hanya bersifat keberuntungan. Padahal, kunci utama keberhasilan dari survival adalah mental siswa itu sendiri. Mereka harus memiliki keyakinan untuk bertahan walau dalam kondisi seminim apa pun.

Saya percaya, dengan memberikan kebebasan yang pantas kepada siswa, tentu penyerapan ilmu itu akan lebih maksimal. Saya percaya dengan keterbukaan, baik itu keterbukaan dari paniti maupun keterbukaan dan kejelasan informasi siswa akan lebih siap menyerap ilmu itu.

Doktrin Militeristik Yang Setengah-setengah

Pendidikan dasar astacala, sedikit banyak mengadopsi pendidikan dasar Wanadri. Hal ini wajar, sebab angkatan Perintis berada dalam didikan Wanadri. Menurut saya, dalam pendas Wanadri, sedikit mengarah pada pendidikan militer/semi militer. Hal ini ditandai dengan keterlibatan pejabat-pejabat militer di lingkungan Wanadri.

Satu hal yang menjadi kunci dalam pendidikan ala militer adalah doktrin, yakni adanya pemaksaan untuk menjejalkan sesuatu pada kepada seseorang dengan cara-cara tertentu. Dan adanya bentrok fisik, tentunya.

Hal ini tentu ditentang oleh Pendas Astacala yakni dengan meniadakan bentrok fisik dalam bentuk apa pun kepada siswa. Tapi benarkah pola pendidikan militeristik sudah tak ada?

Beberapa angkatan terdahulu sedikit heran, melihat Pendas kemarin “Kok sekarang modelnya bentak-bentak ya”

Saya tidak paham, apakah model bentak-bentak yang dimaksud ini sudah menjadi kebiasaan atau hanya berlaku pada pendas kemarin saja. Yang saya lihat, dengan pola bentak-bentak itu ada semacam pemaksaan ketegasan, tujuannya mungkin memberikan efek takut kepada siswa. Saya khawatir dengan kecenderungan seperti ini, lama-lama Pendas Astacala akan mengarah pada pendas yang bersifat semi militer. Awalnya mungkin bentak-bentak, tapi mungkin selanjutnya lebih dari itu.


Sudah semestinya kita harus membongkar ulang pemahaman kita tentang pendidikan dasar astacala, berpikir ulang tentang apa itu Astacala. Seperti bermain lego, ia menjadi asyik bukan karena berhasil membuat satu bentuk saja, tapi lebih utama ketika kita berhasil membongkar ulang dan menatanya kembali menjadi bentuk lain yang labih unik dan menarik. Barangkali itulah pendas yang hendak saya maksud.

— diskusi tentang topik ini dapat ditelusuri di forum diskusi http://astacala.org

h1

Selamat Datang Angkatan Baru

January 16, 2012

Langkah-langkah itu begitu berat, limbung dan kaku. Tatapan mereka begitu layu, seperti tak kuat menahan lelah. Rambut kusut dan baju yang penuh lumpur, seperti ingin membagikan cerita, sepuluh hari penuh perjuangan, penuh derita dan pengalaman yang barangkali berlum pernah dan tak pernah ada dalam benak mereka. Tas carrier yang tak seberapa berat itu seperti menggelantung kuat di pundak-pundak kaku dan lemah itu. Ada yang berusaha menguat-nguatkan diri dengan berdiri lebih tegak, tapi lebih banyak yang menunduk lesu, badan gagah itu sudah tak ada, wajah ceria khas anak muda itu sudah lenyap seketika. Hanya lewat sepuluh hari saja.

Di kaki yang dingin dan sepatu yang basah, aku berdiri di hadapan mereka, mencoba menerawang apa yang ada dalam benak-benak itu, apa yang ada dalam gelora mereka. Tiba-tiba selintas masa lalu menyilang di pikiranku. Sembilan tahun yang lalu, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama, aku berdua saja berdiri seperti mereka. Mungkin tak ada beda, tapi mungkin juga ada banyak bedanya.

Keletihan, kata orang, jika digabungkan dengan banyak keletihan, maka ia akan menghadirkan sakit tak terangkat. Sebaliknya, semangat jika dirangkum dari berbagai semangat, walau itu sedikit, mampu memberikan efek sehat yang tiada terkira. Sedikit semangat bisa menjelma menjadi segunung harapan jika ia mampu disinergikan dengan tepat. Tak peduli berapa letih tubuh yang menyanggahnya itu.

Buktinya, ketika sedikit demi sedikit mereka menyadari bahwa pagi itu adalah akhir dari jerih dan derita mereka, mata-mata itu mulai bercahaya. Seperti sepercik api, ia menyebar, membesar dan sanggup menghanguskan segala.

Tubuh yang semua lemah, perlahan bangkit, kepada yang semula menunduk pelan dan pasti menegak. Dan semuanya demikian.

Mereka kemudian mengusulkan sebuah nama untuk diri mereka, Lembah Hujan. Sebuah nama yang menurut mereka adalah perlambang yang tepat untuk penderitaan dan kerja keras mereka, sepuluh hari yang lewat.

Ketika giliranku berbicara, entah kenapa kata-kata yang sempat menggaung dalam pikiran itu tidak keluar. Ini sebetulnya yang ingin ku katakan : “Hei, anak muda, tidakah kau sadari, bahwa 10 hari itu hanya sedikit, tapi kalian sudah kalah. Dan dari sepuluh hari itu, tak ada yang kalian dapat, kecuali letih dan lelah, kecuali derita dan sedikit sesal”

Dalam bayanganku itu, aku melihat mereka menunduk seperti malu pada kenyataan, bahwa sebetulnya mereka bisa tak kalah, kalau saja mereka mampu memberi semangat pada diri mereka sendiri, kalau saja mereka bisa menghidupi semangat itu.

Lalu kulanjutkan begini “Lihatlah, ketika mengetahui derita yang kalian anggap perjuangan itu segera berakhir, semangat kalian seperti lahir lagi. Kenapa kalian tertipu? Kenapa kalian kalah oleh keletihan yang bisa dilawan?”

Sepuluh hari yang telah lewat itu, hanyalah awal yang sangat singkat. Hanya uji tak layak untuk melihat, apakah kalian adalah benar dan tahu apa yang hendak kalian masuki? Astacala hanya sebuah tempat, untuk kemudian menjadi rumah bagi mereka yang mengklaim diri mereka sebagai manusia yang sadar alam, sadar lingkungan.

Aku sebetulnya ingin berbicara tentang lingkungan yang semakin rusak oleh ulah manusia, oleh tindakan yang menjadi bagian dari keseharian kita. Tapi entah kenapa, kata-kata itu tak pernah keluar. Mulutku menjadi kaku.

“Selamat datang, angkatan baru. Jangan sia-siakan slayer merah yang baru tersemat di lehermu itu. Merah itu sederhana, tapi ia perlambang untuk semangat Astacala. Ia tak mati, dan tak akan pernah”

Maka dari itu jagalah.

Kata-kata itu akhirnya tak pernah muncul, persis ketika aku ingat sebuah pepatah, alamlah guru yang terbaik.

Lembah Hujan, biarlah mereka berdiri dari langkah mereka sendiri. Biarlah mereka lahir dari sesuatu yang mereka anggap sebagai rahim ibu mereka sendiri. Biarlah mereka memahami Astacala, ketika mereka sanggup untuk menghuni tempat itu dengan cara dan kesadarannya sendiri.

h1

Untuk Istriku…

October 7, 2011

keluarga kecil kami Kalau dipikir-pikir, hidup ini memang tidak sederhana. Benturan-benturan yang terlalu sering terjadi, menjadikan alur yang semestinya lurus jadi kusut. Jalan yang lengang menjadi terlalu ramai dan gaduh. Bersinggungan dengan masalah, kadang tidak menjadi sebuah pengalaman yang positif, malah sebaliknya, ia menjadi seperti kerikil yang menghalangi jalan.

Sering aku pandangi wajahnya tatkala ia sedang pulas tertidur, tangannya yang santun memeluk erat si kecil, buah hati kami. Hatiku mendadak terenyuh, menyaksikan kedamaian yang tersembunyi di balik kepulasan itu. Celakalah, bagi mereka yang mendapatkan kedamaian hanya pada saat ia sedang terlelap, pikirku.

Sudah tiga tahun kami merajut impian secara bersama. Mencoba belajar menjadi orang tua, menjadi pasangan hidup dan berjuang menunaikan ikrar yang pernah kami ucapkan. Ada banyak hal yang menjadikan mimpi-mimpi itu tidak menjadi kenyataan, ada banyak kemungkinan yang menjadikan andai-andai itu lebur di tengah jalan. Itulah mengapa aku berani menyebut sebuah kesimpulan, bahwa hidup ini memang tidak sederhana.

Sebuah niat baik, rasanya tidak akan tercapa jika hanya berhenti pada niat itu saja. Ia harus diterjemahkan dengan cucuran keringat, dengan dukungan tekad yang tidak sedikit.

Menjalani hidup secara bersama, seperti mendayung sampan kayu di atas telaga. Harus ada harmoni antara dayung kiri dan dayung kanan. Penghuni sampan kayu itu idak hanya harus pintar mendayung, tapi ia juga harus bersiap mempertahankan keseimbangan ketika ombak datang, kecil atau pun besar.

“Kita baru saja melewati tahun ketiga kebersamaan ini, istriku…” kataku padanya suatu pagi. Dan lihatlah, apa yang telah kita lakukan, jalan yang terasa panjang itu ternyata masih terlalu pendek, bahkan untuk sebuah cerita pada anak-anak kita. Kisah itu sama sekali belum terajut, ia hanya menjadi pengalan-pengalan mozaik. Tapi itulah kita, itulah kebersamaan kita. Cemburulah kita pada mereka yang telah menjadi orang tua puluhan tahun lamanya.

Dengan apa yang telah kami lalui, semoga sampan kayu ini semakin seimbang melaju membelah waktu, menahan helaan badai yang tidak pernah kita perkirakan. Semoga lindungan-NYA menaungi kegembiraan yang hendak dibina.

h1

Nasi Padang Untuk Ayah…

October 3, 2011

[Sabtu, 1 Oktober 2011] Hari ini, kali kedua aku membawa ayah untuk berobat ke Depok. Setelah sabtu yang lalu, mengantarnya untuk pertama kali. Entah mengapa, ketika sedang membonceng ayah (‘ayah’ bukan panggilan yang biasa bagiku kepadanya), aku merasa melankolis, mungkin sejak kedatangan beliau dari kampung beberapa hari yang lau.

Ayah sudah terlihat jauh lebih tua ketimbang satu tahun yang lalu, ketika aku pulang ke rumahnya. Perubahan drastis itu tentu membuatku bertanya-tanya, sudahkah aku melewatkan hari-harinya terlalu lama? Atau kehadiran perubahan itu hanya secuil cerita tuk mengingatkanku akan jerih yang telah itu persembahkan selama ini. Emak (panggilan biasa kepada ibu), lebih sering menceritakan tentang keluh kesah di kampung dibanding menceritakan kondisi ayah secara terinci. Maka jadilah, kedatangannya kali ini, memberikan kejutan kepadaku, istri dan anakku, ada kegembiraan, ada juga sedih melihat kondisinya.

Ia mungkin seperti orang tua pada biasanya, di kampungku. Sosok yang kuat untuk berhadapan dengan kerasnya alam, mencoba membentengkan diri sebagai sandaran hidup. Ia, dulunya kukenal sebagai seorang yang perkasa untuk ukuranku. Sering aku membayangkan menjadi dirinya ketika sedang berjalan pulang dari kebun bersamanya.

Mungkin aku kurang dekat dengannya, sebab lantaran tuntutan hidup, aku harus berpisah dengan Ayah dan Emak beberapa lama, aku sekolah di kampung, dan mereka mengembara di tengah hutan belantara Pal VIII Curup. Itu tadi, untuk menjaga keutuhan ekonomi keluarga besar kami. Bertahun-tahun, aku menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa, dan mereka pun, mungkin beranggapan yang sama.

Kasih sayang, tidak senantiasa sampai dengan harus berdekap erat, tapi ia bisa menyusup lewat hembusan angin yang entah datang dari mana. Kasih sayang, tidak hanya lewat kecupan di kening atau butiran kata-kata. Tapi ia juga tersembunyi dengan unik pada uraian-uraian ungkapan lewat surat atau pesan semata.

Kini, sosok yang kuinginkan itu, telah berada di dekat kami, di dalam rumah kecil kami. Untuk sekedar melepas rindu kepada cucu-nya, mungkin juga kepadaku. Ya, aku menyesali, ketika menyadari kerentaannya yang kian nyata.
***

Ayah membonceng di belakangku. Kadang kakinya mengapit rapat badanku ketika aku membawa motor melewati kemacetan Jakarta. Mungkin ayah tidak terbiasa berkendaraan dengan suasana yang begitu ramai seperti ini.

Sesampai di tempat berobat, kami hanya di periksa sebentar saja. Ayah, menurut tabib itu hanya mengalami pengapuran.

Hari telah beranjak siang ketika aku membawa ayah pulang. Dihimpit sesaknya jalanan di Jakarta, kutepikan motor di sebuah rumah makan Padang. Aku tahu, kami memang sudah sangat kelaparan saat itu.

Kupesankan gulai ayam dan sayur nangka—gulai yang biasa bagi masyarakat di kampungku. Ayah makan begitu lahap, begitu juga dengan aku. Menyaksikan ia sedang nikmat menyantap masakan padang itu, terharu tak hingga rasanya. Ingat ketika dulu, waktu aku masih kecil, ia mengajakku untuk makan di warung Padang. Bagiku, dulu, itu adalah sebuah kemewahan. Dan semoga ayah mendapatkan hal yang serupa dengan ketika ia mengajakku dulu.

Sorenya, istriku langsung membelikan susu khusus untuk tulang dan menghadiahkan kepada ayah. Kuintip, ia tersenyum menerima pemberian menantu perempuannya itu.

Tak banyak yang dapat kami berikan kepadamu ayah, barangkali jauh jika dibandingkan dengan apa yang telah engkau persembahkan kepada kami. Semoga lindungan Allah selalu menyertai, di sisa-sisa harimu nanti.

h1

Ramadhan telah tiba…

August 16, 2010

Menjelang sahur pertama beberapa hari yang lalu, istriku bertanya, “Mau sahur sama apa, Mas?”

“Lho, kok nanya, memangnya kita mau sahur sama apa, banyak pilihannya ya?” jawabku balik bertanya. Ya istriku jelas sebal, ditanya malah balik menanya.

Bukannya banyak pilihan, tapi ini kan puasa pertama, ya pantas kalau memberikan sedikit makanan yang berbeda dari biasanya. Ramadhan cuma setahun sekali, dan sahur pertama juga cuma sekali. Begitu kira-kira penjelasan istriku. Gambaran seperti ini, mungkin mirip untuk semua orang. Di bulan ini, di bulan Ramadhan.

Ramadhan selalu ditandai dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Sebuah analisa subjektif mengatakan bahwa kenaikan itu bukan disebabkan oleh faktor utama penyebab kenaikan harga, namun lebih banyak disebabkan oleh faktor non teknis, yakni kebiasaan masyarakat meningkatkan konsumsi di bulan ini. Terbalik bukan? Sebuah bulan yang mewajibkan ummat untuk menahan lapar dan dahaga, dari 3 kali sehari menjadi dua kali saja—sahur dan buka. Pada siang hari, kita diharuskan untuk tidak melakukan itu, seperti hari-hari biasanya.

Logikanya, bukankah dengan pengurangan itu maka semestinya berkurang pula kebutuhan—minimal untuk kebutuhan makan dan minum. Seandainya prosentasenya dibagi tiga, maka bukankah pada bulan Ramadhan kita hanya memerlukan perngeluaran dua per tiga bagian saja?

Oh rupanya tidak. Ketika Ramadhan datang, maka godaan rupanya semakin memberat. Kita yang sehari-hari dengan kondisi perut nyaman sepanjang hari, maka pada bulan ini, kenyamanan itu akan dihentikan sementara. Perut yang tidak nyaman, rupanya memberikan dampak pada kita untuk berpikir tidak realistis lagi.

Sejatinya, puasa, selain mewajibkan pelakunya untuk tidak makan dan tidak minum, menurut para ahli agama, ia juga mendidik kita supaya bisa menahan diri, dari segala godaan—yang diyakini akan berdampak negatif bagi manusia, entah itu secara fisik atau mental. Menahan lapar, bukankah kita juga belajar merasakan rasa yang sama, laparnya perut kaum miskin yang sering kita abaikan? Menahan gejolak nafsu—semua jenis nafsu—bukankah mengajarkan kepada kita untuk bisa mengontril diri?

Kontrol itulah yang sulit, dan tidak semua orang akan mendapatkannya pada saat nanti lebaran tiba. Manusia tidak kembali pada fitrahnya.

Gambaran tentang kenaikan harga dan tingkat konsumsi, berlaku secara umum. Dan ini, menjadikan sebuah paradoks tentang esensi dari puasa itu sendiri. Kita kadang tidak menyadari, bahwa apa yang kita lakukan—sebagai sebuah kebiasaan—nyatanya adalah cermin tentang diri kita sendiri.

Mari kita perajari baik-baik lagi, apa itu puasa, apa tujuannya dan apa esensinya.

Ramadhan telah tiba, dan kita rupanya masuk dengan kurang persiapan. Tapi tak apalah, sedikit banyak, ada yang dapat kita pelajari.

Ciledug, 16 Agustus 2010

h1

Rumah Kita*

August 7, 2010

“hanya alang-alang, pagar rumah kita, tanpa anyelir, tanpa melati…”

Akhir-akhir ini, suasana rumah serasa lebih semarak, lebih hangat, juga lebih sibuk. Entahlah, pastinya karena apa. Yang jelas, seisi rumah seperti memiliki obsesi untuk lebih sibuk, lebih memperhatikan keberadaan rumah.

“Sebentar lagi puasa, mbok ya rumah dibersihkan…” istriku berkata sambil mengelap kaca depan yang berdebu. “Cobalah mas bantu membersihkan sarang laba-laba yang banyak diruang tamu dan ruang belakang itu…” lanjutnya.

Aku kemudian memang membantu membersihkan rumah. Rumah kecil dan sederhana yang ini bertahun-tahun telah kami huni bersama, aku, istri dan buah hatiku. Jendela kaca yang terlihat bersih dari kejauhan, setelah dilap dengan kain basah, nyatanya meninggalkan debu yang cukup tebal. “Jakarta ya begini, kalau kita malas, siap-siap rumahnya tertelan debu, dirusak rayap dan digelantungi sarang laba-lab” sergah istriku seperti menyimpulkan apa yang sedang aku pikirkan.

“Apa kita pulang kampung dulu saja mas, bulan puasa ini?” tanyanya.

Aku tidak segera menjawab. Pulang! Penggalan kata itu sudah terlalu lama tidak aku dengar, sebuah kata yang selama ini terlupakan. Seperti juga melupakan keinginan dan rasa kangen dengan kampung halaman.

“Ah, ndak usah. Rumah kita kan di sini…” bantahku.

“Tapi apa mas ndak kangen toh, sama bapak, sama ibu, sama sanak saudara di kampung. Sudah lama loh, kita ndak pulang”

Selama ini, ada-ada saja yang kujadikan alasan untuk tidak melaksanakan tradisi itu. Pulang sudah seperti menjadi tradisi, tidak hanya pada musim lebaran, musim puasa, barangkali kalau dirunut lebih jauh, tradisi pulang mungkin bukan cuma tradisi, tapi sejarah panjang hidup manusia. Dari lahir, hidup, dan mati. Atau sejarah penemuan jati diri manusia, dari awal tak mengerti apa-apa, belajar memaknai hidup, terlibat pertikaian-pertikaian, pun kadang juga ada yang menyatakan ingin kembali, pada jalan yang lebih benar, jalan yang semula telah difitrahkan pada diri manusia.

Aku sendiri. Orang yang selama ini hidup dengan paham ugal-ugalan, tak punya konsep yang cukup jelas tentang hidup, tapi tetap mencoba untuk menghantam kecongkakan ibu kota, kota yang menjadi tujuan mencari nafkah. Tapi toh, tetap saja terkadang memiliki sisi-sisi sentimentil. Tengah malam, di saat seisi rumah sedang tertidur, ada-ada saja bisikan-bisikan itu. Sebuah suara dari balik angin, sebuah panggilan dari belahan kabut: untuk kembali, kembali pada posisi yang terbayangkan lebih baik.

Pulang memang bahasa yang memiliki dimensi yang unik. Tak terbantahkan, ribuan bahkan jutaan orang hilir mudik melakukan perjalan itu, perjalanan pulang. Ia selain sebagai sebuah perjalanan, tetapi memiliki nilai tidak sekedar itu. Ada sejarah yang rumit yang berlangsung dalam penggalan kata itu.

Lihatlah, sebelum pulang, orang akan memberikan persiapan yang ekstra. Dengan harapan, ketika muka ini terlihat oleh orang-orang yang selama ini dikesankan menunggu, adalah bahwa kami bukanlah orang-orang yang kalah. Kami pulang bukan sebagai tanda menyerah, tapi kami pulang dengan kebanggaan, bahwa langkah kaki kami telah berlalu lebih menjauh.

Orang-orang akan menjadikan pulang sebagai sarana untuk menghias diri. Atau sarana untuk mengingat kembali. Kenangan-kenangan masa lalu, kisah-kisah yang begitu nyata, berkelindan dalam pikiran. Manis dan pahit, rasanya sama, enak untuk diulang-ulang. Maka senyum pun, sebagai isyarat kedatangan, selalu setia menghiasi muka kita pada detik-detik kepulangan itu tiba.

“Yo wes toh mas, kok jadinya melamun terus. Kalau memang ndak setuju, kita ndak usah pulang dulu tahun ini….” suara istriku tiba-tiba menyadarkan, sekaligus melegakan.

Pulang membutuhkan persiapan, lahir dan bathin. Kesiapan lahir kadang mudah untuk dilakukan, tapi bathin, hanya dirinya sendiri yang lebih tahu. Sebab, bersiap pulang, maka bersiap pula untuk menjawab pertanyaan ini dan itu dari keluarga di rumah lama. Mereka yang bertanya barangkali tidak terlalu berharap pada jawaban yang jujur, tapi kita yang menjawab selalu terbebani dengan keinginan untuk memberikan yang terbaik. “Bahwa kami pulang, bukan sebagai orang yang kalah…”

Istriku sudah selesai membersihkan debu-debu itu, dan aku sudah ia bantu pula. Pada saat mengaso, kukatakan sesuatu padanya.

Lebih baik di sini saja ya, walau sederhana dan tak seberapa isinya, rumah ini, adalah rumah kita sendiri….”

Maka ke sinilah seharusnya kita kembali, ke sinilah untuk sepanjang hidup, kita akan kembali. Sebuah rumah, yang kita sendiri memiliki rahasianya. Sebab, kembali yang abadi memang bukan di mana-mana, dan juga bukan ke mana-mana. Rumah kita yang abadi, bukan di sini! Maka kembali kita yang hakiki, juga bukan di dunia ini.

“Mari kita lantunkan doa untuk arwah-arwah yang telah mendahului kita, sebab kita tidak sempat untuk berziarah. Mari, kita kirimkan bingkisan kata terindah, walau kita tak sanggup menampakan muka kita pada keluarga di sana….” pintaku pada istriku.

Ia pun tersenyum. Dan entah kenapa, senyumnya terlihat lebih manis, bahkan sangat manis.

Terima kasih, Allah, telah kau anugerahkan pada kami kehangatan yang sederhana. Yang membawa kami pada kebahagiaan tak terhingga. Terima kasih juga, telah memberikan kesempatan kepada kami untuk kembali, berharap dan bersiap menyambut bulan agungMU, dengan ijinMU.

Ciledug, Akhir Sya’ban 1431 H

*Rumah Kita adalah sebuah judul lirik karya Ian Antono dan Theodore KS, lagu ini di populerkan oleh Good Bless.