“hanya alang-alang, pagar rumah kita, tanpa anyelir, tanpa melati…”
Akhir-akhir ini, suasana rumah serasa lebih semarak, lebih hangat, juga lebih sibuk. Entahlah, pastinya karena apa. Yang jelas, seisi rumah seperti memiliki obsesi untuk lebih sibuk, lebih memperhatikan keberadaan rumah.
“Sebentar lagi puasa, mbok ya rumah dibersihkan…” istriku berkata sambil mengelap kaca depan yang berdebu. “Cobalah mas bantu membersihkan sarang laba-laba yang banyak diruang tamu dan ruang belakang itu…” lanjutnya.
Aku kemudian memang membantu membersihkan rumah. Rumah kecil dan sederhana yang ini bertahun-tahun telah kami huni bersama, aku, istri dan buah hatiku. Jendela kaca yang terlihat bersih dari kejauhan, setelah dilap dengan kain basah, nyatanya meninggalkan debu yang cukup tebal. “Jakarta ya begini, kalau kita malas, siap-siap rumahnya tertelan debu, dirusak rayap dan digelantungi sarang laba-lab” sergah istriku seperti menyimpulkan apa yang sedang aku pikirkan.
“Apa kita pulang kampung dulu saja mas, bulan puasa ini?” tanyanya.
Aku tidak segera menjawab. Pulang! Penggalan kata itu sudah terlalu lama tidak aku dengar, sebuah kata yang selama ini terlupakan. Seperti juga melupakan keinginan dan rasa kangen dengan kampung halaman.
“Ah, ndak usah. Rumah kita kan di sini…” bantahku.
“Tapi apa mas ndak kangen toh, sama bapak, sama ibu, sama sanak saudara di kampung. Sudah lama loh, kita ndak pulang”
Selama ini, ada-ada saja yang kujadikan alasan untuk tidak melaksanakan tradisi itu. Pulang sudah seperti menjadi tradisi, tidak hanya pada musim lebaran, musim puasa, barangkali kalau dirunut lebih jauh, tradisi pulang mungkin bukan cuma tradisi, tapi sejarah panjang hidup manusia. Dari lahir, hidup, dan mati. Atau sejarah penemuan jati diri manusia, dari awal tak mengerti apa-apa, belajar memaknai hidup, terlibat pertikaian-pertikaian, pun kadang juga ada yang menyatakan ingin kembali, pada jalan yang lebih benar, jalan yang semula telah difitrahkan pada diri manusia.
Aku sendiri. Orang yang selama ini hidup dengan paham ugal-ugalan, tak punya konsep yang cukup jelas tentang hidup, tapi tetap mencoba untuk menghantam kecongkakan ibu kota, kota yang menjadi tujuan mencari nafkah. Tapi toh, tetap saja terkadang memiliki sisi-sisi sentimentil. Tengah malam, di saat seisi rumah sedang tertidur, ada-ada saja bisikan-bisikan itu. Sebuah suara dari balik angin, sebuah panggilan dari belahan kabut: untuk kembali, kembali pada posisi yang terbayangkan lebih baik.
Pulang memang bahasa yang memiliki dimensi yang unik. Tak terbantahkan, ribuan bahkan jutaan orang hilir mudik melakukan perjalan itu, perjalanan pulang. Ia selain sebagai sebuah perjalanan, tetapi memiliki nilai tidak sekedar itu. Ada sejarah yang rumit yang berlangsung dalam penggalan kata itu.
Lihatlah, sebelum pulang, orang akan memberikan persiapan yang ekstra. Dengan harapan, ketika muka ini terlihat oleh orang-orang yang selama ini dikesankan menunggu, adalah bahwa kami bukanlah orang-orang yang kalah. Kami pulang bukan sebagai tanda menyerah, tapi kami pulang dengan kebanggaan, bahwa langkah kaki kami telah berlalu lebih menjauh.
Orang-orang akan menjadikan pulang sebagai sarana untuk menghias diri. Atau sarana untuk mengingat kembali. Kenangan-kenangan masa lalu, kisah-kisah yang begitu nyata, berkelindan dalam pikiran. Manis dan pahit, rasanya sama, enak untuk diulang-ulang. Maka senyum pun, sebagai isyarat kedatangan, selalu setia menghiasi muka kita pada detik-detik kepulangan itu tiba.
“Yo wes toh mas, kok jadinya melamun terus. Kalau memang ndak setuju, kita ndak usah pulang dulu tahun ini….” suara istriku tiba-tiba menyadarkan, sekaligus melegakan.
Pulang membutuhkan persiapan, lahir dan bathin. Kesiapan lahir kadang mudah untuk dilakukan, tapi bathin, hanya dirinya sendiri yang lebih tahu. Sebab, bersiap pulang, maka bersiap pula untuk menjawab pertanyaan ini dan itu dari keluarga di rumah lama. Mereka yang bertanya barangkali tidak terlalu berharap pada jawaban yang jujur, tapi kita yang menjawab selalu terbebani dengan keinginan untuk memberikan yang terbaik. “Bahwa kami pulang, bukan sebagai orang yang kalah…”
Istriku sudah selesai membersihkan debu-debu itu, dan aku sudah ia bantu pula. Pada saat mengaso, kukatakan sesuatu padanya.
“Lebih baik di sini saja ya, walau sederhana dan tak seberapa isinya, rumah ini, adalah rumah kita sendiri….”
Maka ke sinilah seharusnya kita kembali, ke sinilah untuk sepanjang hidup, kita akan kembali. Sebuah rumah, yang kita sendiri memiliki rahasianya. Sebab, kembali yang abadi memang bukan di mana-mana, dan juga bukan ke mana-mana. Rumah kita yang abadi, bukan di sini! Maka kembali kita yang hakiki, juga bukan di dunia ini.
“Mari kita lantunkan doa untuk arwah-arwah yang telah mendahului kita, sebab kita tidak sempat untuk berziarah. Mari, kita kirimkan bingkisan kata terindah, walau kita tak sanggup menampakan muka kita pada keluarga di sana….” pintaku pada istriku.
Ia pun tersenyum. Dan entah kenapa, senyumnya terlihat lebih manis, bahkan sangat manis.
Terima kasih, Allah, telah kau anugerahkan pada kami kehangatan yang sederhana. Yang membawa kami pada kebahagiaan tak terhingga. Terima kasih juga, telah memberikan kesempatan kepada kami untuk kembali, berharap dan bersiap menyambut bulan agungMU, dengan ijinMU.
Ciledug, Akhir Sya’ban 1431 H
*Rumah Kita adalah sebuah judul lirik karya Ian Antono dan Theodore KS, lagu ini di populerkan oleh Good Bless.